Senin, 14 November 2016

CERPEN

Kilo Penentu
Sekitar jam 10 pagi, aku beranjak pergi kerumah tokeku. Sampai disana aku melihat ia sedang duduk di warung depan rumahnya.
“kayak mana toke, jadi kita menimbang hari ini”
“jadi, panggilla si ammar sana” sambil menunjuk ke rumahnya.
“e’em..,” aku pun beranjak pergi ke rumah ammar.
“mar...ammar...ayok bo uda di panggil bang dulik kita”
“iya, ku carik dulu baju kerjaku” jawabnya sambil membuka lemari bajunya.
Setelah ia selesai mencari baju yang ia akan pakai saat kerja. Aku pergi mengambil kilo yang biasanya berada di balik pintu. Tapi saat itu aku tidak melihat kilo yang biasa kami pakai untuk menimbang. Aku hanya melihat kilo yang berwarna merah. Karena aku tidak melihat kilo yang lain, aku pun membawa kilo yang berwarna merah itu. Tanpa memperhatikan kilo itu, ammar langsung memanggilku untuk segera pergi. Saat di perjalanan aku masih bertanya tanya tentang kilo itu. Daripada aku penasaran aku langsung bertanya kepada ammar.
“mar, kilo ini lain sama kilo yang biasa kita pakek”.
“keyak mana rupanyua kilonya” jawabnya sambil melihat ke kilo itu.
“warna merah ini kilonya ini ha”
“ala... salah bawaknya kau itu”
“jadi kayak mana lah ini”. Denagn wajah yang kebingungan.
“kita telpon dulu bang dulik” jawab ammar sambil menepikan keretanya.
“owh iya, telepon lah dulu” sambil meletakkan kilonya karena aku merasa pegal.
Ammar pun menelepon bang dulik. Tapi bang dulik tidak mengangkat telepon dari ammar. Berulang ulang kali di telepon tetap tidak diangkat juga. Dari pada ambil pusing kami melanjutkan kepergian kami ke tempat kerja. Sesampai di tempat kerja, bang dulik meneleponku.
“halo”
“ha, iya bang”
“apa itu jep, kenapa menelepon tadi si ammar”
“ini bang, kilo yang kami bawak enggak kayak kilo yang biasnya”.
“kilo yang mana rupanya kamu bawak”.
“yang warna merah ini bang”
“salah bawaknya kamu itu”
“enggak lagi ada nampakku disitu kilo yang semalam bang?”.
“uda dimana kamu ini?” tanyaya pada kami.
“uda nyampek timbangan bang”
“yauda itu aja pakek kamu, tapi potong tiga kilo buat kamu”
“kenapa potong tiga kilo bang” tanyaku.
“itu kilonya kilo bagus” jawabnnya.
“owh.., iya bang” sambil mengucap salam, aku langsung mematikan teleponnya.
Selesai menelepon, aku langsung memberskan tempat timbangan kami. Di saat itu, ada sesuatu yang timbul dalam pikiranku. Dalam hati aku berkata “kenapa enggak kutambai aja satu kolo lagi”. Di situ aku berniat untuk melakukan hal jahat yang sangat merugikan orang. Namun setan terus menghantui pikiranku. Saat selesai membereskan tempat, aku langsung menaruh kilo di timbangannya. Aku masih berpikir bagaimana cara ku menjalankan niat kotorku itu. Temanku ammar itu belum tentu mau aku ajak kerja sama. Tiba-tiba ammar memanggilku.
“jep, apa kata bang dulik samamu” tanyanya kepadaku.
“pake kilo itu aja kata bang dulik, tapi potong tiga kilo” sambutku dari belakang.
“kenapa potong tiga kilo?”
“karena kilo yang itu kilo yang bagus” jawabku mengatakan apa yang dikatakan bang dulik.
“oh.. gitu”
Tak berapa lama kemudian, seseorang datang untuk menjual getahnya. Aku pun bergegas untuk menimbang getah. Getahnya pun ditimbang. Aku mulai menjalankan rencanaku tadi. Tapi aku takut kalau si ammar tau. Karena aku belum sempat berbincang dengannya tadi. Getah yang pertama ini belum jadi aku korupsikan. Karena keadaannya belum aman. Selesai di timbang, aku langsung memberikan uang getahnya agar ia lekas pergi. Setelah ku beri uang, dia belum beranjak pergi. Dia malah duduk duduk di tempat timbangan kami dan berbincanag bincang dengan si ammar. Dalam pikiranku “aduh.., kenapa belum pigi-pigi uwak ini. Karena kalu uwak ini belum pergi, aku tidak bisa menjalankan rencanaku. Jika nanti ada orang yang menimbang lagi dan aku potong kilonya sebanyak empat kilo, takutnya penimbang yang ini bertanya “kau berapa kilo dipotong getahmu”. Ternyata sebelum itu terjadi uwak tadi pergi karena ia mendapat telepon dari tetangganya yang memberikan ia pekerjaan di samping rumah. pekerjaan itu adalah mengali lobang untuk membuat seksiteng. Uwak itu pun pergi dengan kendaraannya. Aku langsung menghampiri ammar yang sedang duduk.
“mar, ayok kita kali-kalikan uang gotah ini”
“kali-kalikan kayak mananya” ujarnya kebingungan.
“kita buat jadi potongan empat kilo sekali nimbang” jawabku.
“enggak paham aku, keyak mana maksudnya itu” denagan kebingungan kedua.
“ gini, kita potong empat kilo kan. Baru satu kilo lagi sama kita” jawabku seolah olah meyakinkan dia.
“ah.., nanti ketauan kita” dengan merasa takut.
“enggak pala itu”
“iya, ayok lah” ia menganggap itu adalah tambahan gaji.
Akhirnya ia setuju dengan rencanaku. Karena ia merasa gaji kami itu masih kurang atau tidak setimpal dengan pekerjaannya. Setelah kami berdua setuju, kami melihat ada orang yang membawa getah ke arah timbangan kami yang kemungkinan ingin menjual getahnya. Ternyata benar orang itu menjual getah ke tempat kami. Timbangan getahnya sebanyak 50 kilo kotor. Setelah kami beri bon bersihnya sebanyak 46 kilo, orang itu heran mengapa potongan kilonya banyak kali. Tapi kami hanya bawa diam saja. Dan menganggap potongan itu potongan yang biasa digunakan. Orang lain yang ingin membawa getahnya pun berdatangan. Mereka semua juga heran mengapa potongannya banyak sangat. Seseorang lelek bertanya.
“dipotong piro kilo ne iki” merasa potongannya terlalu banyak.
“di potong 4 koli lek” jawabku melihat ke arah si ammar.
“seng akeh la iku, bioso ne di potong 2 kilo ae nya”
“iyo lek, iki kilo ne orak semalem”
“owh, ngono to’’
“iyo lek”
Akhirnya lelek itu tidak curiga lagi dengan potongan harga yang kami buat. Karena kami telah menjelaskan kepada lelek itu mengapa potongan kilonya sebanyak 4 kilo itu karena kilo yang di pakai bukan kilo yang semalam. Rencana kami pada hari ini berjalan lancar. Jam 15:30 getah kami di muat ke mobil dan kami mulai beranjak pulang ke kampuang. Sesampainya kami di kampung, aku langsung memasukkan kilo ke balek pintu. Lalu kami pergi ke sungai. Kami pergi ke sungai bukan utuk mandi. Melainkan untuk menghitung hasil korupsi yang kami dapatkan. Setelah di hitung-hitung ternyata hasil yang kami dapatkan mencapai 156.000. kami pun ketagihan untuk melakukannya kembali. Beberpa minggu kami melakukan hal-hal seperti itu semuanya lancar-lancar saja dan tidak ada kendala. Namun semua itu berubah dengan seiring waktu. Keesokannya saat kami menimbang getah, kami masih menjalankan rencana kkami itu. Namun setelah kami menimbang beberapa getah bang dulik datang dengan kereta beatnya. Di saat itu, posisi kami barganti. Sekarang kami yang merapikan getah dan dia yang menimbang getah. Pada saat bang dulik menimbang getah dia hanya memotng sebanyak 3 kilo sedangkan kalo kami yang menimbang kami memotongnya sebanyak 4 kilo. Ibu sri mendengar pambicaraan bang dulik dengan penjual tadi. Kemudian buk dri bertanya.
“bang awak tadi kenapa di potong empat kilo?”
“mana ada buk, di potong 3 kilonya buk?!” kata bang dilik tnapa mengetahui apa yang terjadi.
“aku tadi di [otong 4 kilonya sama anggotamu tadi”
Bang dulik menatap kami dengan tatapan yang sangat sinis. Tapi dia tidak mau ribut di timbangan itu. Lalu dia melanjutkan pembicaraannya.
“owh iya buk, tadi memang potong 4 kilonya ku bilang itu” sambil melain-lainkan cerita agar pelanggan timbangannya tidak pergi darinya.
“aku gak mau getahku di potong empat kilo” sambil meletakkan bon itu ke depan meja bang dulik.
Bang dulik lngsung memperbaaiki bon itu, dan getah ibuk itu di potong menjadi 4 kilo. Sambil berjalan kami mendengar ibuk itu berkata “tau gini mending aku jual tempat yang lain”. Aku dan ammar tak tau lagi harus bagaimana. Jantung kami serasa berdetak 1000 kali per detiknya. Kami tak dapat membayangkan bagaimana marahnya bang dulik sama kami. Di saat itu kami hanya terdiam tak tau harus berbuat apa. Karena aku sudah was-was aku menyapa ammar.
“mar, ayok pulang kita” kataku dengan sangat pelan afar bang dulik tidak mendengar omonganku.
“yang otonya kau, makin kenak marahlah kita nanti itu” sambil menutupi wajahnya dengan tangannya.
“bukannya keringat dingin lagi awak ini, keringat esnya namanya ini” sambil memalingkan muka ke arah bawah.
Tiba-tiba bang dulik memanggilku.
“jepp” panggilnya dengan lembut seakan-akan tsk terjadi suatu masalah.
“i..i..i..iya bang” jawabku dengan suara yang terhentak-hentak.
“pigi dulu belikkan sama abang nasik bungkus satu” sambil menyodorkan duitnya kepadaku.
“apa lauknya bang” dengan wajah yang sangat merasa bersalah.
“ikan nila aja buat kau” seprtinya emosinya sudah mulai naik.
“iya bang” kataku sambil menyalakan kereta.
Terus aku memanggil ammar untuk menemaniku membeli nasik.
“mar, ayok kawani aku”
“gak usa, satumu saja pigi” dengan tiba-tiba bang dulik menyambut perkataanku.
Aku langsung pergi saja tanpa menunggu jawaban dari ammar. Selesai membeli nasik bungkus aku langsung balek ke timbangan dan memberi memberi makanan tu kepada bang dulik. Saat bang dulik makan, kami mulai memuat getah ke mobil coldiesel. Begitu selesai dimuat, aku,ammar dan bang dulik bergegas meninggalkan tempat timbangan itu. Sesampainya saat di rumah bang dulik. Bang dulik langsung berkata.
“sekarang apanya maksud kamu” dengan wajah yang sangat memerah.
“gak ada bang” jawab kami serentak.
“jadi kenapa kalian tambah-tambahi kilo itu”.
“inggak a..a..ad.,..”
“gak ada kau bilang udap kamu potong-potong kilo itu. Kalok gak mau korja kamu bilang kamu. Biar mattak kamu dari kerjaan ini. Gara-gara kamu besok gak pala ada yang mau menimbang lagi ke tempat kita. Ini lah rugi aku dua juta”
“mintak maaf kami bang”
“gak ada mintak maaf mintak maaf”
“bang”
“kalok berlaku lah mintak maaf, gak bakalan kekerasan itu terjadi. Sekarang carik kamu lah kerjaan kamu yang lain. Kalok aku, gak bisa lagi kupertahankan kamu”.
Ahirnya kami pulang tanpa membawa selembar uang pun. Karena kami tidak di kasih gaji karena kesalahan kami. Namun keesokan harinya kami pergi lagi kerumah bang dulik. Kami meminta maaf kepadanya, dia memaafkan kami tapi dia tidak bisa menerima kami kembali kerja lagi. Tapi tidak apa-apa yang penting kami telah dimaafkan.

JEFRI RAMBE

SMA NEGRI 2 RANTAU SELATAN, KAB. LABUHAN BATU SUMATRA UTARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar