Sekitar
jam 10 pagi, aku beranjak pergi kerumah tokeku. Sampai disana aku melihat ia
sedang duduk di warung depan rumahnya.
“kayak
mana toke, jadi kita menimbang hari ini”
“jadi,
panggilla si ammar sana” sambil menunjuk ke rumahnya.
“e’em..,”
aku pun beranjak pergi ke rumah ammar.
“mar...ammar...ayok
bo uda di panggil bang dulik kita”
“iya,
ku carik dulu baju kerjaku” jawabnya sambil membuka lemari bajunya.
Setelah
ia selesai mencari baju yang ia akan pakai saat kerja. Aku pergi mengambil kilo
yang biasanya berada di balik pintu. Tapi saat itu aku tidak melihat kilo yang
biasa kami pakai untuk menimbang. Aku hanya melihat kilo yang berwarna merah.
Karena aku tidak melihat kilo yang lain, aku pun membawa kilo yang berwarna
merah itu. Tanpa memperhatikan kilo itu, ammar langsung memanggilku untuk
segera pergi. Saat di perjalanan aku masih bertanya tanya tentang kilo itu.
Daripada aku penasaran aku langsung bertanya kepada ammar.
“mar,
kilo ini lain sama kilo yang biasa kita pakek”.
“keyak
mana rupanyua kilonya” jawabnya sambil melihat ke kilo itu.
“warna
merah ini kilonya ini ha”
“ala...
salah bawaknya kau itu”
“jadi
kayak mana lah ini”. Denagn wajah yang kebingungan.
“kita
telpon dulu bang dulik” jawab ammar sambil menepikan keretanya.
“owh
iya, telepon lah dulu” sambil meletakkan kilonya karena aku merasa pegal.
Ammar
pun menelepon bang dulik. Tapi bang dulik tidak mengangkat telepon dari ammar.
Berulang ulang kali di telepon tetap tidak diangkat juga. Dari pada ambil
pusing kami melanjutkan kepergian kami ke tempat kerja. Sesampai di tempat
kerja, bang dulik meneleponku.
“halo”
“ha,
iya bang”
“apa
itu jep, kenapa menelepon tadi si ammar”
“ini
bang, kilo yang kami bawak enggak kayak kilo yang biasnya”.
“kilo
yang mana rupanya kamu bawak”.
“yang
warna merah ini bang”
“salah
bawaknya kamu itu”
“enggak
lagi ada nampakku disitu kilo yang semalam bang?”.
“uda
dimana kamu ini?” tanyaya pada kami.
“uda
nyampek timbangan bang”
“yauda
itu aja pakek kamu, tapi potong tiga kilo buat kamu”
“kenapa
potong tiga kilo bang” tanyaku.
“itu
kilonya kilo bagus” jawabnnya.
“owh..,
iya bang” sambil mengucap salam, aku langsung mematikan teleponnya.
Selesai
menelepon, aku langsung memberskan tempat timbangan kami. Di saat itu, ada
sesuatu yang timbul dalam pikiranku. Dalam hati aku berkata “kenapa enggak
kutambai aja satu kolo lagi”. Di situ aku berniat untuk melakukan hal jahat
yang sangat merugikan orang. Namun setan terus menghantui pikiranku. Saat
selesai membereskan tempat, aku langsung menaruh kilo di timbangannya. Aku
masih berpikir bagaimana cara ku menjalankan niat kotorku itu. Temanku ammar
itu belum tentu mau aku ajak kerja sama. Tiba-tiba ammar memanggilku.
“jep,
apa kata bang dulik samamu” tanyanya kepadaku.
“pake
kilo itu aja kata bang dulik, tapi potong tiga kilo” sambutku dari belakang.
“kenapa
potong tiga kilo?”
“karena
kilo yang itu kilo yang bagus” jawabku mengatakan apa yang dikatakan bang
dulik.
“oh..
gitu”
Tak
berapa lama kemudian, seseorang datang untuk menjual getahnya. Aku pun bergegas
untuk menimbang getah. Getahnya pun ditimbang. Aku mulai menjalankan rencanaku
tadi. Tapi aku takut kalau si ammar tau. Karena aku belum sempat berbincang
dengannya tadi. Getah yang pertama ini belum jadi aku korupsikan. Karena
keadaannya belum aman. Selesai di timbang, aku langsung memberikan uang
getahnya agar ia lekas pergi. Setelah ku beri uang, dia belum beranjak pergi.
Dia malah duduk duduk di tempat timbangan kami dan berbincanag bincang dengan
si ammar. Dalam pikiranku “aduh.., kenapa belum pigi-pigi uwak ini. Karena kalu
uwak ini belum pergi, aku tidak bisa menjalankan rencanaku. Jika nanti ada
orang yang menimbang lagi dan aku potong kilonya sebanyak empat kilo, takutnya penimbang
yang ini bertanya “kau berapa kilo dipotong getahmu”. Ternyata sebelum itu
terjadi uwak tadi pergi karena ia mendapat telepon dari tetangganya yang
memberikan ia pekerjaan di samping rumah. pekerjaan itu adalah mengali lobang
untuk membuat seksiteng. Uwak itu pun pergi dengan kendaraannya. Aku langsung
menghampiri ammar yang sedang duduk.
“mar,
ayok kita kali-kalikan uang gotah ini”
“kali-kalikan
kayak mananya” ujarnya kebingungan.
“kita
buat jadi potongan empat kilo sekali nimbang” jawabku.
“enggak
paham aku, keyak mana maksudnya itu” denagan kebingungan kedua.
“
gini, kita potong empat kilo kan. Baru satu kilo lagi sama kita” jawabku seolah
olah meyakinkan dia.
“ah..,
nanti ketauan kita” dengan merasa takut.
“enggak
pala itu”
“iya,
ayok lah” ia menganggap itu adalah tambahan gaji.
Akhirnya
ia setuju dengan rencanaku. Karena ia merasa gaji kami itu masih kurang atau
tidak setimpal dengan pekerjaannya. Setelah kami berdua setuju, kami melihat
ada orang yang membawa getah ke arah timbangan kami yang kemungkinan ingin
menjual getahnya. Ternyata benar orang itu menjual getah ke tempat kami.
Timbangan getahnya sebanyak 50 kilo kotor. Setelah kami beri bon bersihnya
sebanyak 46 kilo, orang itu heran mengapa potongan kilonya banyak kali. Tapi
kami hanya bawa diam saja. Dan menganggap potongan itu potongan yang biasa
digunakan. Orang lain yang ingin membawa getahnya pun berdatangan. Mereka semua
juga heran mengapa potongannya banyak sangat. Seseorang lelek bertanya.
“dipotong
piro kilo ne iki” merasa potongannya terlalu banyak.
“di
potong 4 koli lek” jawabku melihat ke arah si ammar.
“seng
akeh la iku, bioso ne di potong 2 kilo ae nya”
“iyo
lek, iki kilo ne orak semalem”
“owh,
ngono to’’
“iyo
lek”
Akhirnya
lelek itu tidak curiga lagi dengan potongan harga yang kami buat. Karena kami
telah menjelaskan kepada lelek itu mengapa potongan kilonya sebanyak 4 kilo itu
karena kilo yang di pakai bukan kilo yang semalam. Rencana kami pada hari ini
berjalan lancar. Jam 15:30 getah kami di muat ke mobil dan kami mulai beranjak
pulang ke kampuang. Sesampainya kami di kampung, aku langsung memasukkan kilo
ke balek pintu. Lalu kami pergi ke sungai. Kami pergi ke sungai bukan utuk
mandi. Melainkan untuk menghitung hasil korupsi yang kami dapatkan. Setelah di
hitung-hitung ternyata hasil yang kami dapatkan mencapai 156.000. kami pun
ketagihan untuk melakukannya kembali. Beberpa minggu kami melakukan hal-hal
seperti itu semuanya lancar-lancar saja dan tidak ada kendala. Namun semua itu
berubah dengan seiring waktu. Keesokannya saat kami menimbang getah, kami masih
menjalankan rencana kkami itu. Namun setelah kami menimbang beberapa getah bang
dulik datang dengan kereta beatnya. Di saat itu, posisi kami barganti. Sekarang
kami yang merapikan getah dan dia yang menimbang getah. Pada saat bang dulik
menimbang getah dia hanya memotng sebanyak 3 kilo sedangkan kalo kami yang
menimbang kami memotongnya sebanyak 4 kilo. Ibu sri mendengar pambicaraan bang
dulik dengan penjual tadi. Kemudian buk dri bertanya.
“bang
awak tadi kenapa di potong empat kilo?”
“mana
ada buk, di potong 3 kilonya buk?!” kata bang dilik tnapa mengetahui apa yang
terjadi.
“aku
tadi di [otong 4 kilonya sama anggotamu tadi”
Bang
dulik menatap kami dengan tatapan yang sangat sinis. Tapi dia tidak mau ribut
di timbangan itu. Lalu dia melanjutkan pembicaraannya.
“owh
iya buk, tadi memang potong 4 kilonya ku bilang itu” sambil melain-lainkan
cerita agar pelanggan timbangannya tidak pergi darinya.
“aku
gak mau getahku di potong empat kilo” sambil meletakkan bon itu ke depan meja
bang dulik.
Bang
dulik lngsung memperbaaiki bon itu, dan getah ibuk itu di potong menjadi 4
kilo. Sambil berjalan kami mendengar ibuk itu berkata “tau gini mending aku
jual tempat yang lain”. Aku dan ammar tak tau lagi harus bagaimana. Jantung
kami serasa berdetak 1000 kali per detiknya. Kami tak dapat membayangkan bagaimana
marahnya bang dulik sama kami. Di saat itu kami hanya terdiam tak tau harus
berbuat apa. Karena aku sudah was-was aku menyapa ammar.
“mar,
ayok pulang kita” kataku dengan sangat pelan afar bang dulik tidak mendengar
omonganku.
“yang
otonya kau, makin kenak marahlah kita nanti itu” sambil menutupi wajahnya
dengan tangannya.
“bukannya
keringat dingin lagi awak ini, keringat esnya namanya ini” sambil memalingkan
muka ke arah bawah.
Tiba-tiba
bang dulik memanggilku.
“jepp”
panggilnya dengan lembut seakan-akan tsk terjadi suatu masalah.
“i..i..i..iya
bang” jawabku dengan suara yang terhentak-hentak.
“pigi
dulu belikkan sama abang nasik bungkus satu” sambil menyodorkan duitnya
kepadaku.
“apa
lauknya bang” dengan wajah yang sangat merasa bersalah.
“ikan
nila aja buat kau” seprtinya emosinya sudah mulai naik.
“iya
bang” kataku sambil menyalakan kereta.
Terus
aku memanggil ammar untuk menemaniku membeli nasik.
“mar,
ayok kawani aku”
“gak
usa, satumu saja pigi” dengan tiba-tiba bang dulik menyambut perkataanku.
Aku
langsung pergi saja tanpa menunggu jawaban dari ammar. Selesai membeli nasik
bungkus aku langsung balek ke timbangan dan memberi memberi makanan tu kepada
bang dulik. Saat bang dulik makan, kami mulai memuat getah ke mobil coldiesel.
Begitu selesai dimuat, aku,ammar dan bang dulik bergegas meninggalkan tempat
timbangan itu. Sesampainya saat di rumah bang dulik. Bang dulik langsung
berkata.
“sekarang
apanya maksud kamu” dengan wajah yang sangat memerah.
“gak
ada bang” jawab kami serentak.
“jadi
kenapa kalian tambah-tambahi kilo itu”.
“inggak
a..a..ad.,..”
“gak
ada kau bilang udap kamu potong-potong kilo itu. Kalok gak mau korja kamu
bilang kamu. Biar mattak kamu dari kerjaan ini. Gara-gara kamu besok gak pala
ada yang mau menimbang lagi ke tempat kita. Ini lah rugi aku dua juta”
“mintak
maaf kami bang”
“gak
ada mintak maaf mintak maaf”
“bang”
“kalok
berlaku lah mintak maaf, gak bakalan kekerasan itu terjadi. Sekarang carik kamu
lah kerjaan kamu yang lain. Kalok aku, gak bisa lagi kupertahankan kamu”.
Ahirnya
kami pulang tanpa membawa selembar uang pun. Karena kami tidak di kasih gaji
karena kesalahan kami. Namun keesokan harinya kami pergi lagi kerumah bang
dulik. Kami meminta maaf kepadanya, dia memaafkan kami tapi dia tidak bisa
menerima kami kembali kerja lagi. Tapi tidak apa-apa yang penting kami telah
dimaafkan.
JEFRI
RAMBE
SMA
NEGRI 2 RANTAU SELATAN, KAB. LABUHAN BATU SUMATRA UTARA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar