Kamis, 17 November 2016

Resensi Novel Bau Kemenyan di Gua pamtai

Resensi Novel Bau Kemenyan di Gua Pantai

          I.          Identitas buku


Nama pengarang          : Linda Herliantina Utomo
Judul buku                   : Bau Kemenyan di Gua Pantai
Tahun terbit                 : 1997
Penerbit                       : Balai Pustaka
Kota terbit                    : Jakarta
Sinopsis
“hati-hati, bal. Jangan terlalu ke kiri. Di situ ada perahu, pak Amat,” teriak Dul yang bertubuh gendut dengan gerakan lamban macam seorang pemalas. Mulutnya asyik mengunya makanan yang mereka bawa dari rumah.
            “huh, ribut saja! Dari tadi bisanya hanya menyuruh saja! Sini turun! Bantu aku,” gerutu igbal.
“yak usah, ya!” cibir dul sambil tertawa.
Di siang yang terik itu matahari kelihatannya enggan bersikap ramah. Sinarnya membakar kulit empat orang anak laki-laki yang sedang berada di atas sebuah sampan. Sudah sekitar satu jam mereka berdayung. Sudah berkali-kali pula mereka menebarkan jala, tetapi belum satu pun ikan yang terjaring.ahirnya, mereka pun putus asa dan kembali ke darat.
“bal, turun! Dorong perahu dari belakang!” seru aryo.
Igbal segera turun dari perahu dan mulai mendorong perahu. Badannya tinggi besar dan kuat. Tenaganya memang dapat diandalkan. Selain itu, igbal mahir bertukang.
“konyol, sudah capai-capai melaut, tidak satu pun ikan yang mau di bawa pulang,” keluh jalu ketika mereka sampai di markas. Yang disebut markas adalah sebuah gua di tpi laut, sekitar dua ratus meter dari dermaga. Gua ini berukuran cukup besar, tetapi jarang dikunjungi oarang karena letaknya agak tersembunyi. Dari luar gua itu kelihatan gelap, tetapi di dalamnya bertebaran kotoran burung walet dan kelelawar. Suasana gua tersebut lembab dan menyeramkan. Inilah markas rahasia remaja empat serangkai tersebut. Letaknya memang agak menjorok ke dalam. Di dalam gua tersebut terdapat sebuah ruangan yang cukup bersih dan tidak terlalu sempit, seperti sebuah bangsal saja tempatnya.walaupun demikian mereka menyediakan protomaks. Jika sewaktu-waktu matahari tertutup awan atau jika mereka ingin berekumpil di tempat itu pada malam hari.
Hari pertama saja sudah sial. Kita tidak mendapat ikan seekor pun, apa lagi besok. Kudengar dari bang juhari, hasil tangkapan musim ini memang lagi seret,” kata igbal.
“Sudalah, Bal. Kita lihat saja besok. Mudah-mudahan ada ikan yang mau menghampiri jala kita,” hibur jalu memberi semangat.
Sudah lama Aryo, Jalu, dan Dul merencanakan untuk membuat sebuah perpustakaan kecil di desa nelayan.
” Aku ingin memiliki perpustakaan kecil sendiri. Dengan demikian, anak-anak sini tidak kalah pintarnya dengan anak-anak di kota,”
“kamu pikir anak kota pintar-pintar? “dengan cepat aryo menimpali. “kamu tahu, tidak sedikit anak kota bergelimang dengan fasilitas lengkap, tetapi mereka tidak mau atau tidak tahu bagaimana memanfaatkannya semaksimal mungkin.
“Betul, kamu, yo! Aku kadang tidak habis pikir”
“justru itu, dul. Kita jangan mau kalah. Biarpun fasilitas yang kita miliki kurang, boleh dikatakan minim dekali, kita harus lebih pintar dari mereka.
“betul!” jawab jalu cepat.” Dengan adanya perpustakaan, anak-anak di desa kita yang rata-rata hanya tamat sekolah dasar dapat terus belajar.
“seteju, lu! Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membangun desa nelayan ini?
“bagus cita-citamu, bal,” sambut aryo. “aku juga tidak saba ingin menjadi ahli ekonomi.”
“kalau kamu bagaimana,  dul? Apa cita-citamu?” tanya jalu ingin tahu.
Dul hanya diam sejenak. Keningnya berkerut. Pipinya yang bulat membuat mimiknya menjadi lucu. Memang, eajah dul adalah wajah pelawak.
Mereka terbahak-bahak. Akan tetapi, yang disindir tidak mau kalah. Dengan tenang du membeberkan angan-anganya, “kalian tahu, semula aku ingin menjadi pengusaha roti. Kupikir aku dapat makan roti setiap hari, biar bertambah gendut. Akan tetapi, aku lalu ingat ada oarang yang keracunan karena roti. Oleh karena itu, ku ubah cita-citaku menjadi seorang pengusaha ikan.
Keesokan harinya mereka selalu di gangu oleh jakut dan anak buahnya. Mereka jadi kesulitan untuk mencari ikan karena jakut daan anak buahnya selalu merampas pendapatan yang di dapat dari hasil melaut. Namun, dua hari telah berlalu sejak peristiwa pemerasan oleh jakut dan kawan-kawannya itu terjadi. Saat itu, empat serangkai rapat di gua guna menghindari jakut dan anak buahnya. Ternyata hasil rapat mereka menghasilkan kerja yang sangat baik. Untuk beberapa hari, empat serangkai dapat mengelabui jakut dan anak buahnya. Memang ada biaya untuk menjalankan siasat ini dengan baik, meskipun tidak begitu besar. Teropong bekas mereka dapatkan dari tukang loak. Harganya cukup miring karena salah satu kacanya sudah retak. Tidak apalah, pokoknya masih bisa digunakan untuk mengintif gerak-gerik lawan dari kejauhan. Kalu bayang-bayang jakut masih berkelebat di dermaga,  mereka mundur lagi ke gua. Yah, memang tidak enak terus-terusan begini. Namun apa boleh buat, daripada terjadi pertempuran di pantai dengan kerugian yang lebih besar.
“celaka!” desis aryo sore itu, ketika masih melihat jakut dan kawan-kawanya dalam teropong. “rupanya mereka tidak sebodoh yang kita sangka. Lihat! Tampaknya mereka masih sabar menunggu kedatangan kita sampai matahari terbenam. Dasar perampok!”
Hari pun semakin malam. Angin laut bertiup semakin kencang rasa dingin mulai menyerap ke dalam gua yang temaram oleh sinar lilin. Di samping itu, sinar petromaks dapat memporak-porakkan ketenangan kelelawar penghuni gua itu.
Dalam suasana keremangan yang mulai mencekam tadi, sekonyong-konyong tercium bau kemenyan. Mula-mula bau itu samar-samar saja, mirip harum bunga sedap malam. Akan tetapi, lama kelamaan bau itu semakin jelas dan menyengat hidung. Reaksi pertama-tama datang dari dul yang sudah mulai berdiri bulu kuduknya.
“he, bau apa ini, ya?”
“bau kemenyan!” sahut aryo.
“apa? Kemenyan? Hi...
“ya, paling-paling ada orang yang membakar kemenyan di sekitar sini. Sekarang malam jum’at bukan?”
“jangan-jangan ada oarng yang menyepi mencari rezeki, seperti di makam-makam keramat,”kata jalu.
“yuk, kita pulang saja. Barang kali si jakut juga sudah bosan menunggu kita seharian. Kalaupun dia masih ada, ya kita berikan saja hasil tangkapan hari ini.
Ajakan dul yang mulai ketakutan tadi ditanggapi baik oleh kawan-kawannya. Mereka bergegas pulang meninggalkan gua rahasia yang mulai memberikan tanda-tanda misteri. Bau kemenyan yang mendadak mulai datang malam itu, benar-benar mengusik rasa ingin tahu para petualang remaja, Empat serangkai.
Saat berdiskusi atas hilangnya jakut, tiba-tiba si topeng hitam muncul dari mulut gua. “ sekarang, kalian ikut kami!” perintah topeng hitam dengan kasar. “ kalu ingin selamat, jangan ada yang coba-coba melarikan diri. Aryo dan temannya hanya mengikuti apa yang dikatakan si topeng hitam. Mereka di bawa ke kapal dan aryo melihat jakut dan anak buahnya juga berada di sana. “Ternyata benar, ada hubunganya hilangnya jakut dengan bau kemenyan itu,” sebut aryo dalam hati.
Pada saat tertidur lelap, badai datang mengguncang kapal. Karena guncangan itu, topeng hitam menepikan kapalnya karena takut tenggelam akibat badai. Keesokan harinya saat badai sudah redah, polisi datang untuk menangkap bandit-bandit itu. Ternyata mereka telah mengetahui kedatangan polisi dan mereka kabur. Seterusnya aryo dan kawan-kawan di bawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Untungnya aryo masih ingat plat mobil yang mengankut barang seludupan itu. Ahirnya polisi menyelidiki plat mobil tersebut dan topeng hitam beserta bandit-bandit lainnya dapat di tangkap. Dan sekarang mereka telah mendekam di penjara.
1.      Unsurinstrinstik novel
            Tokoh (penokohan)
            Aryo    :tegas
kalubegitumalaminikitamencariinformasidariteman-teman yang lain. Barangkalidiantaramerekaada yang melihatjakut.Entah di pasar, di kantorpolisi,   di rumahsakit, atau di tempat lain. Kemudian, informasi yang di perolehkitadiskusikanbesok di markasbesar, oke?” begitulaharyomemberiinstruksikepada    igbal, jalu, dandul.
            Igbal    :memiliki rasa patriotisme yang tinggi
            setuju! Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membangun desa nelayan ini? Aku             pun sudah tidak sabar lagi menjadi seorang ahli perikanan. Akan ku ubah cara-cara            menangkap ikan secara tradisyonal  yang selama ini kita gunakan. Cara-cara itu       sudah ketinggalan jaman dan tidak menjanjikan hasil yang besar” kata igbal    semangat.
            Dul      : tukang makan
            Kalian tahu, sebelumnya aku ingin menjadi pengusaha roti. Kupikir agar aku dapat          makan roti setiap hari, biar tambah gendut”.
            Hem, dasar gendut. Cita-citanya saja tidak jauh dari makanan” jawab jalu cepat.
            Jakut    : jahat
“Jakut, ojoy dan totem adalah pemuda-pemuda putus sekolah. Kerja mereka hanya membuat keributan. Di samping itu, hampir setiap hari mereka memeras para           nelayan yang lemah dengan meminta uang rokok. Daerah operasinya tidak hanya di      desa nelayan ini, tetapi mencakup dua desa yang terletak di pesisir pantai desa ini.”
            Topeng hitam   : kejam
Sekarang, kalian ikut kami!” perintah topeng hitam dengan kasar. “kalau mau selamat, jangan ada yang coba-coba melarikan diri”.

2.      Amanat
            jangan membalas kejahatan dengan kejahatan karena sesungguhnya itu tidak akan    menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah.
3.      Tema
                        Pada malam itu, saat mereka terlambat pulang akibat jakut masih menunggu mereka, di saat itu mulai terasa bau kemenyan yang makin lama semakin pekat. Dan   mulai saat itu pula jakut dan anak buahnya menghilang di tangkap oleh topeng hitam       yang membawa bau kemenyan sampai ke gua pantai.
4.      Alur: Maju
                        Cerita novel ini diawali dengan kata “di siang yang terik itu” yang berartikan            sedang terjadi.Novel ini juga memiliki konplik dan pemecahan masalah. Yang berarti           memiliki urutan waktu hari ini dan seterusnya.
5.      Latar(setting)
Latar Waktu : siang hari
Di siang yang terik itu matahari kelihatannya enggan bersikap ramah.
Latar Suasana: gembira
Aryo, igbal, dan jalu tertawa menyaksikan tampang Dul yang cemberut karena dijadikan bulan-bulanan.

            Latar Tempat : di sampan
            Sinarnya membakar kulit empat orang anak laki-laki yang sedang berada di atas sebuah sampan.
6.      Sudut Pandang
            Sudut pandang yang digunakan ( pengarang tidak berada di    dalam cerita tersebut)
            Unsur Ekstrinsik
a.       Nilai moral
Sekarang, kalian ikut kami!” perintah topeng hitam dengan kasar. “Kalau mau selamat, jangan ada yang coba-coba melarikan diri!.”
b.      Nilai Agama
Sementara itu, ketiga kawan-kawanya tidak henti-henti berdoa memohon keselamatan.”
            Keunggulan.
            Ceritanya layak diterima, tidak terlalu sulit untuk memahami isi cerita tersebut.         Memiliki arti persahabatan yang kuat. Rasa pantang menyerah yang sangat tinggi.            Dan memiliki cita-cita yang dapat bermanfaat bagi orang lain.
            Kekurangan.
            Biografi pengarang tidak begitu jelas. Asal usul tokoh dalam novel tersebut tidak      jelas. Polisi juga sangat mudah untuk menangkap pelaku dan tidak ada alur yang       menceritakan penangkapan topeng hitam dan anak buahnya.
            Kesimpulan:
            Dari novel bau kemenyan di gua pantai memberikan arti pentingnya ilmuagi             kehidupan manusia. Seperti dalam novel tersebut, aryo, jalu, igbal, dan dul bekerja           sama agar dapat membangun perpustakaan di desa nelayan. Agar anak-anak dapat            membaca buku setiap hari.                 

            

Senin, 14 November 2016

CERPEN

Kilo Penentu
Sekitar jam 10 pagi, aku beranjak pergi kerumah tokeku. Sampai disana aku melihat ia sedang duduk di warung depan rumahnya.
“kayak mana toke, jadi kita menimbang hari ini”
“jadi, panggilla si ammar sana” sambil menunjuk ke rumahnya.
“e’em..,” aku pun beranjak pergi ke rumah ammar.
“mar...ammar...ayok bo uda di panggil bang dulik kita”
“iya, ku carik dulu baju kerjaku” jawabnya sambil membuka lemari bajunya.
Setelah ia selesai mencari baju yang ia akan pakai saat kerja. Aku pergi mengambil kilo yang biasanya berada di balik pintu. Tapi saat itu aku tidak melihat kilo yang biasa kami pakai untuk menimbang. Aku hanya melihat kilo yang berwarna merah. Karena aku tidak melihat kilo yang lain, aku pun membawa kilo yang berwarna merah itu. Tanpa memperhatikan kilo itu, ammar langsung memanggilku untuk segera pergi. Saat di perjalanan aku masih bertanya tanya tentang kilo itu. Daripada aku penasaran aku langsung bertanya kepada ammar.
“mar, kilo ini lain sama kilo yang biasa kita pakek”.
“keyak mana rupanyua kilonya” jawabnya sambil melihat ke kilo itu.
“warna merah ini kilonya ini ha”
“ala... salah bawaknya kau itu”
“jadi kayak mana lah ini”. Denagn wajah yang kebingungan.
“kita telpon dulu bang dulik” jawab ammar sambil menepikan keretanya.
“owh iya, telepon lah dulu” sambil meletakkan kilonya karena aku merasa pegal.
Ammar pun menelepon bang dulik. Tapi bang dulik tidak mengangkat telepon dari ammar. Berulang ulang kali di telepon tetap tidak diangkat juga. Dari pada ambil pusing kami melanjutkan kepergian kami ke tempat kerja. Sesampai di tempat kerja, bang dulik meneleponku.
“halo”
“ha, iya bang”
“apa itu jep, kenapa menelepon tadi si ammar”
“ini bang, kilo yang kami bawak enggak kayak kilo yang biasnya”.
“kilo yang mana rupanya kamu bawak”.
“yang warna merah ini bang”
“salah bawaknya kamu itu”
“enggak lagi ada nampakku disitu kilo yang semalam bang?”.
“uda dimana kamu ini?” tanyaya pada kami.
“uda nyampek timbangan bang”
“yauda itu aja pakek kamu, tapi potong tiga kilo buat kamu”
“kenapa potong tiga kilo bang” tanyaku.
“itu kilonya kilo bagus” jawabnnya.
“owh.., iya bang” sambil mengucap salam, aku langsung mematikan teleponnya.
Selesai menelepon, aku langsung memberskan tempat timbangan kami. Di saat itu, ada sesuatu yang timbul dalam pikiranku. Dalam hati aku berkata “kenapa enggak kutambai aja satu kolo lagi”. Di situ aku berniat untuk melakukan hal jahat yang sangat merugikan orang. Namun setan terus menghantui pikiranku. Saat selesai membereskan tempat, aku langsung menaruh kilo di timbangannya. Aku masih berpikir bagaimana cara ku menjalankan niat kotorku itu. Temanku ammar itu belum tentu mau aku ajak kerja sama. Tiba-tiba ammar memanggilku.
“jep, apa kata bang dulik samamu” tanyanya kepadaku.
“pake kilo itu aja kata bang dulik, tapi potong tiga kilo” sambutku dari belakang.
“kenapa potong tiga kilo?”
“karena kilo yang itu kilo yang bagus” jawabku mengatakan apa yang dikatakan bang dulik.
“oh.. gitu”
Tak berapa lama kemudian, seseorang datang untuk menjual getahnya. Aku pun bergegas untuk menimbang getah. Getahnya pun ditimbang. Aku mulai menjalankan rencanaku tadi. Tapi aku takut kalau si ammar tau. Karena aku belum sempat berbincang dengannya tadi. Getah yang pertama ini belum jadi aku korupsikan. Karena keadaannya belum aman. Selesai di timbang, aku langsung memberikan uang getahnya agar ia lekas pergi. Setelah ku beri uang, dia belum beranjak pergi. Dia malah duduk duduk di tempat timbangan kami dan berbincanag bincang dengan si ammar. Dalam pikiranku “aduh.., kenapa belum pigi-pigi uwak ini. Karena kalu uwak ini belum pergi, aku tidak bisa menjalankan rencanaku. Jika nanti ada orang yang menimbang lagi dan aku potong kilonya sebanyak empat kilo, takutnya penimbang yang ini bertanya “kau berapa kilo dipotong getahmu”. Ternyata sebelum itu terjadi uwak tadi pergi karena ia mendapat telepon dari tetangganya yang memberikan ia pekerjaan di samping rumah. pekerjaan itu adalah mengali lobang untuk membuat seksiteng. Uwak itu pun pergi dengan kendaraannya. Aku langsung menghampiri ammar yang sedang duduk.
“mar, ayok kita kali-kalikan uang gotah ini”
“kali-kalikan kayak mananya” ujarnya kebingungan.
“kita buat jadi potongan empat kilo sekali nimbang” jawabku.
“enggak paham aku, keyak mana maksudnya itu” denagan kebingungan kedua.
“ gini, kita potong empat kilo kan. Baru satu kilo lagi sama kita” jawabku seolah olah meyakinkan dia.
“ah.., nanti ketauan kita” dengan merasa takut.
“enggak pala itu”
“iya, ayok lah” ia menganggap itu adalah tambahan gaji.
Akhirnya ia setuju dengan rencanaku. Karena ia merasa gaji kami itu masih kurang atau tidak setimpal dengan pekerjaannya. Setelah kami berdua setuju, kami melihat ada orang yang membawa getah ke arah timbangan kami yang kemungkinan ingin menjual getahnya. Ternyata benar orang itu menjual getah ke tempat kami. Timbangan getahnya sebanyak 50 kilo kotor. Setelah kami beri bon bersihnya sebanyak 46 kilo, orang itu heran mengapa potongan kilonya banyak kali. Tapi kami hanya bawa diam saja. Dan menganggap potongan itu potongan yang biasa digunakan. Orang lain yang ingin membawa getahnya pun berdatangan. Mereka semua juga heran mengapa potongannya banyak sangat. Seseorang lelek bertanya.
“dipotong piro kilo ne iki” merasa potongannya terlalu banyak.
“di potong 4 koli lek” jawabku melihat ke arah si ammar.
“seng akeh la iku, bioso ne di potong 2 kilo ae nya”
“iyo lek, iki kilo ne orak semalem”
“owh, ngono to’’
“iyo lek”
Akhirnya lelek itu tidak curiga lagi dengan potongan harga yang kami buat. Karena kami telah menjelaskan kepada lelek itu mengapa potongan kilonya sebanyak 4 kilo itu karena kilo yang di pakai bukan kilo yang semalam. Rencana kami pada hari ini berjalan lancar. Jam 15:30 getah kami di muat ke mobil dan kami mulai beranjak pulang ke kampuang. Sesampainya kami di kampung, aku langsung memasukkan kilo ke balek pintu. Lalu kami pergi ke sungai. Kami pergi ke sungai bukan utuk mandi. Melainkan untuk menghitung hasil korupsi yang kami dapatkan. Setelah di hitung-hitung ternyata hasil yang kami dapatkan mencapai 156.000. kami pun ketagihan untuk melakukannya kembali. Beberpa minggu kami melakukan hal-hal seperti itu semuanya lancar-lancar saja dan tidak ada kendala. Namun semua itu berubah dengan seiring waktu. Keesokannya saat kami menimbang getah, kami masih menjalankan rencana kkami itu. Namun setelah kami menimbang beberapa getah bang dulik datang dengan kereta beatnya. Di saat itu, posisi kami barganti. Sekarang kami yang merapikan getah dan dia yang menimbang getah. Pada saat bang dulik menimbang getah dia hanya memotng sebanyak 3 kilo sedangkan kalo kami yang menimbang kami memotongnya sebanyak 4 kilo. Ibu sri mendengar pambicaraan bang dulik dengan penjual tadi. Kemudian buk dri bertanya.
“bang awak tadi kenapa di potong empat kilo?”
“mana ada buk, di potong 3 kilonya buk?!” kata bang dilik tnapa mengetahui apa yang terjadi.
“aku tadi di [otong 4 kilonya sama anggotamu tadi”
Bang dulik menatap kami dengan tatapan yang sangat sinis. Tapi dia tidak mau ribut di timbangan itu. Lalu dia melanjutkan pembicaraannya.
“owh iya buk, tadi memang potong 4 kilonya ku bilang itu” sambil melain-lainkan cerita agar pelanggan timbangannya tidak pergi darinya.
“aku gak mau getahku di potong empat kilo” sambil meletakkan bon itu ke depan meja bang dulik.
Bang dulik lngsung memperbaaiki bon itu, dan getah ibuk itu di potong menjadi 4 kilo. Sambil berjalan kami mendengar ibuk itu berkata “tau gini mending aku jual tempat yang lain”. Aku dan ammar tak tau lagi harus bagaimana. Jantung kami serasa berdetak 1000 kali per detiknya. Kami tak dapat membayangkan bagaimana marahnya bang dulik sama kami. Di saat itu kami hanya terdiam tak tau harus berbuat apa. Karena aku sudah was-was aku menyapa ammar.
“mar, ayok pulang kita” kataku dengan sangat pelan afar bang dulik tidak mendengar omonganku.
“yang otonya kau, makin kenak marahlah kita nanti itu” sambil menutupi wajahnya dengan tangannya.
“bukannya keringat dingin lagi awak ini, keringat esnya namanya ini” sambil memalingkan muka ke arah bawah.
Tiba-tiba bang dulik memanggilku.
“jepp” panggilnya dengan lembut seakan-akan tsk terjadi suatu masalah.
“i..i..i..iya bang” jawabku dengan suara yang terhentak-hentak.
“pigi dulu belikkan sama abang nasik bungkus satu” sambil menyodorkan duitnya kepadaku.
“apa lauknya bang” dengan wajah yang sangat merasa bersalah.
“ikan nila aja buat kau” seprtinya emosinya sudah mulai naik.
“iya bang” kataku sambil menyalakan kereta.
Terus aku memanggil ammar untuk menemaniku membeli nasik.
“mar, ayok kawani aku”
“gak usa, satumu saja pigi” dengan tiba-tiba bang dulik menyambut perkataanku.
Aku langsung pergi saja tanpa menunggu jawaban dari ammar. Selesai membeli nasik bungkus aku langsung balek ke timbangan dan memberi memberi makanan tu kepada bang dulik. Saat bang dulik makan, kami mulai memuat getah ke mobil coldiesel. Begitu selesai dimuat, aku,ammar dan bang dulik bergegas meninggalkan tempat timbangan itu. Sesampainya saat di rumah bang dulik. Bang dulik langsung berkata.
“sekarang apanya maksud kamu” dengan wajah yang sangat memerah.
“gak ada bang” jawab kami serentak.
“jadi kenapa kalian tambah-tambahi kilo itu”.
“inggak a..a..ad.,..”
“gak ada kau bilang udap kamu potong-potong kilo itu. Kalok gak mau korja kamu bilang kamu. Biar mattak kamu dari kerjaan ini. Gara-gara kamu besok gak pala ada yang mau menimbang lagi ke tempat kita. Ini lah rugi aku dua juta”
“mintak maaf kami bang”
“gak ada mintak maaf mintak maaf”
“bang”
“kalok berlaku lah mintak maaf, gak bakalan kekerasan itu terjadi. Sekarang carik kamu lah kerjaan kamu yang lain. Kalok aku, gak bisa lagi kupertahankan kamu”.
Ahirnya kami pulang tanpa membawa selembar uang pun. Karena kami tidak di kasih gaji karena kesalahan kami. Namun keesokan harinya kami pergi lagi kerumah bang dulik. Kami meminta maaf kepadanya, dia memaafkan kami tapi dia tidak bisa menerima kami kembali kerja lagi. Tapi tidak apa-apa yang penting kami telah dimaafkan.

JEFRI RAMBE

SMA NEGRI 2 RANTAU SELATAN, KAB. LABUHAN BATU SUMATRA UTARA